Sejarah Desa

Sejarah Desa

Menurut cerita bahwa sejarah Desa Pandansari yang tahu secara persis belum bisa dibuktikan secara benar, nama dari beberapa informasi yang didapat dari berbagai sumber yang berkembang di Masyarakat Pandansari, dapat disimpulkan bahwa Nama Pandansari sudah ada sejak tahun 1889, dimana Pandansari belum merupakan satu kesatuan Pemerintahan.

Pada tahun tersebut Pemerintah Pandansari masih berbaur dengan Kolonial Belanda, dimana pada masa itu masih merupakan Blok-blok penduduk yang terdiri dari Pedukuhan-pedukuhan yang konon ceritanya Masyarakat Pedukuhan masih mengikuti kebiasaan dari tokoh tertua dilingkungannya, dan pada masa itu nama Desa pun masih Pandanwangi.

Seiring dengan kepentingan banyak pihak, maka pada saat itu ada beberapa tokoh yang dianggap berpengaruh pada Masyarakat, oleh Kolonial Belanda diadakan uji Kekuatan, dan menurut cerita ada beberapa Tokoh Masyarakat yang diajak ketengah Danau (Telaga Ranjeng) dengan menaiki Jukung (Perahu kecil) dan pada saat itu terjadi keanehan di tengah Danau yakni dari beberapa Tokoh yang ikut memutar di tengah Telaga dan dari tokoh yang ikut, hanya satu orang yang berhasil mengatasi kejadian aneh itu adalah DANUWITIRTA.

Sejak itulah Nama tokoh Danu Witirta diangkat menjadi Kepala Desa I (pertama) Pandansari, dan pada saat itu pusat Pemerintahan ada di Kampung Taman, yang pada saat itu masih bernama Tamansari, sedang Dukuh-dukuh lain belum ikut dalam Pemerintahan Danuwitirta, seperti di Tretepan masih mengikuti perilaku tokoh tertua bernama Tuan Bakem (Mbah Bakem) sedangkan di Igipandan masih mengacu pada tukoh bernama Tuan Benik (Mbah Benik) dan juga dukuh-dukuh lain.

Sejalan dengan perkembangan zaman dan sepeninggal tokoh Danuwitirta dilanjutkan Kepala Desa berturut-turut oleh Trunayudawata kemuduan Reksayudawata dan Wirtojo yang tokoh tersebut lebih berkiblat pada Sistem Pemerintahan Kolonial Belanda.

Menjelang Kemerdekaan muncul Tokoh yang anti Kolonial tetapi memiliki tekhnik Pemerintahan dan kKeamanan serta Keselamatan baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain, dan tokoh itu adalah Sudarmo. Sudarmo memiliki 3 (tiga) nama yaitu : Sudarmo, Saripin dan Harjo Utomo.

Konon diceritakan bahwa Harjo Utamo itu adalah tokoh yang sangat dicari oleh Belanda karena Keahlian dan Kemampuannya untuk membela Masyarakat anti Belanda, dan pada saat itulah nama Harjo Utomo suatu  saat berubah menjadi Sudarmo dan adakalanya berubah menjadi Saripin.

Pemerintahan Harjo Utomo berlanjut sampai setelah Proklamasi Kemerdekaan, yang akhirnya dengan adanya perubahan dari sistem Kolonial kesistem Parlemen nama Harjo Utomo di ganti oleh anaknya yang bernama Kaptono, Hm yang memimpin Pemerintahan dari tahun 1958/1959 kemudian tahun 1990/1991 terjadi pemilihan Kepala Desa yang dimenangkan oleh Kepala Desa bernama Rusdiyanto yang berakhir sampai tahun 2006 selanjutnya Kepala Desa Pandansari dari tahun 2007 sampai sekarang adalah Kamdo.

Disamping sejarah masa lalu di Desa Pandansari juga ada tokoh Belanda yang menjadi panutan lingkungan sekitar, mengingat di Desa Pandansari ada peninggalan masa Penjajahan Belanda yakni Pabrik Teh yang dulunya berbentuk NV (Nederland Venoshcap) dengan tokoh sentral bernama Van De Jong, hal ini dibuktikan dengan adanya makam Van De Jong yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Tuan Diyong/Mbah Diyong yang sampai saat ini untuk Pariwisata, serta peninggalan Jepang bernama Goa Jepang (tempat wisata sampai sekarang).

Selain memiliki sejarah peninggalan serta sistem Pemerintahan Penjajahan Jepang serta Kolonial Belanda, Pandansar juga memiliki motos terjadinya Telaga Ranjeng yang sekarang menjadi Obyek Wisata yang menarik yaitu Telaga Ranjeng.

Diceritakan oleh beberapa orang dari mulut ke mulut bahwa proses terjadinya Telaga Ranjeng adalah hasil perkelahian 2 (dua) ekor hewan yaitu Ayam dan Anjing yang berseteru untuk mengadu kekuatan yang dulunya terjadi di beberapa tempat di Desa Pandansari sekarang, tetapi konon ceritanya dilihat oleh Manusia (Kemanungsan), dan akhirnya perseteruan itu pindah dari lokasi ke lokasi dan yang terakhir yang sekarang menjadi Telaga Ranjeng yang dikenal sebagai Taman Lele.

Desa Pandansari yang berada pada ketinggian 1460-2050 dpl, menjadikan Desa Pandansari berpotensi dalam berbagai sektor Pertanian, disamping suhu Pegunungan yang sejuk juga cocok untuk budidaya sayuran seperti : Kentang, Kobis, Wortel dan berbagai sayuran lainnya, Desa Pandansari juga cocok untuk beternak Sapi, Domba dan Kelinci. Bahkan Desa Pandansari pernah meraih Juara I tingkat Nasional Ternak Kelinci dan diundang ke Istana Presiden di Jakarta untuk menerima hadiah pada tahun 1982, pada saat itu Oleh Pemerintahan Soeharto dihadiahi  I (Satu) unit Gedung Taman Kanak-Kanak yang bernama “TK KELINCI”.

Pandansari yang memiliki Panorama dan Potensi alam dari berbagai sektor terus berbenah dan ingin membidik sektor peternakan dan sektor Pariwisata, oleh karena itu terdapat Wisata Pertanian, Wisata Peternakan dan Wisata Alamyang oleh dinas Pariwisata Provinsi Jawa Tengah telah ditetapkan menjadi Desa Wisata, dan untuk merealisasikannya didukung oleh anggaran Pariwisata baik dari SKPD yang ada maupun melalui PNPM Pariwisata.